Kabar Republik - Kelas menengah Indonesia kian tertekan. Guncangan ekonomi global hingga gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mulai memengaruhi kekuatan konsumsi masyarakat. Salah satu indikatornya adalah merosotnya transaksi digital, terutama melalui sistem QRIS.
Data dari Bank Jatim (BJTM) menunjukkan penurunan signifikan pada nominal transaksi QRIS Merchant sejak pertengahan 2024. Pada Juni, nilai transaksi QRIS mencapai Rp176,30 miliar, lalu turun tajam menjadi Rp127,91 miliar di Juli. Agustus hanya mencatatkan kenaikan tipis ke Rp130,51 miliar.
"Data menunjukkan penurunan tajam selama Juni hingga Agustus. Namun, jika dilihat dari delapan bulan terakhir, tetap ada pertumbuhan," kata Direktur Utama Bank Jatim, Busrul Iman, dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (30/6/2025).
Meskipun terjadi penurunan sejak Juni, nominal QRIS pada Agustus masih lebih tinggi dibanding Januari yang hanya sebesar Rp76,11 miliar. Namun tren penurunan ini beriringan dengan deflasi inti yang berlangsung selama empat bulan berturut-turut sejak Mei 2024.
Di sisi lain, transaksi via tabungan digital Bank Jatim, seperti J Connect mobile dan kartu debit, disebut masih tumbuh positif.
Situasi serupa dialami Bank Oke Indonesia (OK Bank). Direktur Kepatuhan Efdinal Alamsyah mengungkapkan, total tabungan nasabah mengalami penurunan sekitar 12% secara tahunan per 4 September 2024.
"Penurunan daya beli memaksa nasabah mengalihkan pengeluaran hanya pada kebutuhan dasar. Transaksi hiburan atau restoran turun, sementara belanja kebutuhan pokok justru naik," ujarnya.
Dampak melemahnya daya beli juga terasa di Bank BJB (BJBR). Meski frekuensi transaksi masih tumbuh, nilainya justru menyusut.
"Nasabah kini mengeluarkan nominal uang yang sama untuk barang yang lebih sedikit. Artinya, inflasi dan penurunan nilai tukar uang telah menekan daya beli masyarakat," jelas Direktur Utama BJB, Yuddy Renaldi.
Kelas Menengah Kian Menyusut
Fenomena ini diperkuat data dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pada 2019, jumlah masyarakat kelas menengah mencapai 56,33 juta jiwa atau 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024, angkanya merosot menjadi hanya 47,85 juta orang (17,13%).
Sebaliknya, jumlah kelompok menengah rentan (aspiring middle class) dan rentan miskin meningkat tajam.
Kelompok menengah rentan naik dari 128,85 juta jiwa (48,20%) pada 2019 menjadi 137,50 juta orang (49,22%) di 2024. Sementara kelompok rentan miskin melonjak dari 54,97 juta jiwa (20,56%) menjadi 67,69 juta orang atau 24,23% dari populasi.
Artinya, sekitar 9,5 juta penduduk kelas menengah Indonesia turun kelas dalam lima tahun terakhir. Penurunan ini tak hanya menandakan tantangan ekonomi, tetapi juga menyiratkan urgensi kebijakan pemulihan yang lebih menyentuh akar persoalan daya beli masyarakat.
#KelasMenengah #EkonomiIndonesia #DayaBeliTurun #TransaksiQRIS #PHKMassal #KrisisEkonomi #QRISIndonesia #KelasMenengahTergerus #StatistikBPS #DigitalBanking #BankJatim #OKBank #BankBJB #EkonomiDigital #MasyarakatRentan #InflasiIndonesia #Deflasi #KonsumenIndonesia #PemulihanEkonomi #TrenEkonomi2025
0 Komentar